10 Aspek Teratas Perkawinan di Masyarakat Pedesaan



Beberapa aspek khusus perkawinan dalam masyarakat pedesaan:

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa perkawinan pedesaan memiliki ciri-ciri tertentu ­yang membedakannya dengan perkawinan perkotaan. Jika penelitian-penelitian yang dilakukan berkaitan dengan sistem perkawinan pedesaan dianalisis dengan seksama, kita akan dapat menemukan beberapa sifat dalam perkawinan pedesaan yang hanya bersifat relatif terhadap masyarakat pedesaan. Mahasiswa sosiologi pedesaan harus selalu dapat mengidentifikasi kekhususan perkawinan yang terdapat pada masyarakat pedesaan.

(1) Perkawinan anak atau usia perkawinan:

Untuk pertama kalinya pada tahun 1929, Undang-Undang Pengekangan Perkawinan Anak disahkan oleh pemerintah Inggris. Sejak itu beberapa amandemen dalam Undang-undang telah dibuat. Usia yang ditentukan untuk menikah saat ini adalah 21 tahun untuk laki-laki atau 18 tahun untuk perempuan.

Meskipun kejadian perkawinan anak merupakan masalah nasional, kejadiannya di masyarakat pedesaan sangat tinggi. Rajasthan tidak ­ragu untuk melangsungkan pernikahan anak pada hari Akha Teej yang jatuh di bulan Juni. Hari itu dianggap menguntungkan dan ribuan anak laki-laki dan perempuan membawa tujuh putaran ke api suci pada hari ini.

Masyarakat pedesaan selalu membutuhkan tambahan tenaga kerja di lapangan. Kebutuhan ini mendorong masyarakat pedesaan untuk segera menikahkan putra dan putri mereka. Alasan dasar perkawinan anak ­adalah tidak adanya literasi.

Buta huruf perempuan di komunitas pedesaan sangat besar. Meskipun perkawinan anak juga terjadi di masyarakat perkotaan, frekuensinya di pedesaan jauh lebih besar. Hal ini merupakan ciri khas masyarakat pedesaan.

(2) Poligini:

Keistimewaan lain dari pernikahan pedesaan adalah praktik ­poligini. Di antara suku-suku lebih dari satu istri laki-laki menambah statusnya. Di desa-desa suku orang dapat dengan mudah menemukan Panch atau Pradhan mengontrak istri kedua pada hari dia menjabat.

Tentunya, poligini di antara kasta tinggi dan khususnya pegawai pemerintah adalah masa lalu, tetapi anggota kasta rendah tidak melewatkan kesempatan untuk mencari istri kedua. Dengan demikian poligini tetap menjadi ciri khas masyarakat pedesaan.

(3) Pernikahan dengan pertukaran:

Di antara kasta desa yang lebih rendah terdapat bentuk perkawinan yang dikenal sebagai Ata-Sata. Dalam perkawinan ini, saudara laki-laki menikahkan saudara perempuannya dengan seorang laki-laki yang sebagai gantinya saudara perempuannya diambil olehnya sebagai istrinya. Perkawinan semacam ini sangat populer di mana ada disproporsi perempuan yang mencolok. Ini dianggap sebagai bentuk pernikahan yang lebih rendah dan dipandang rendah oleh kasta desa yang lebih tinggi.

(4) Harga pengantin:

Perkawinan dengan mas kawin umumnya terjadi di antara suku-suku. Jumlah yang diambil sebagai maskawin oleh orang tua mempelai wanita adalah uang kompensasi untuk membesarkan gadis itu. Jumlah mas kawin biasanya ditetapkan oleh panchayat suku tradisional. Namun, di antara suku-suku yang telah mengenyam pendidikan, praktik mahar semakin lemah. Namun tidak diragukan lagi, perkawinan dengan mahar merupakan ciri khas perkawinan pedesaan.

(5) Status perempuan yang lebih rendah dalam hubungan suami istri:

Status perempuan di masyarakat pedesaan umumnya lebih rendah. Sebagai seorang istri dan sebagai seorang janda dia tidak diberikan status apapun. Sebagai seorang istri ia dianggap sebagai mitra bawahan yang hanya dimaksudkan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Dia tidak terlibat dalam keputusan besar yang diambil tentang masalah keluarga.

Yang ingin kami tekankan di sini adalah bahwa sebagai pasangan suami isteri ia hanya dituntut untuk menuruti keinginan suaminya. Statusnya yang lebih rendah karena ketergantungan ekonomi dan buta huruf. Perempuan pedesaan jauh dari gelombang gerakan perempuan.

(6) Lebih murah dan tidak terlalu meriah:

Perkawinan di masyarakat perkotaan, bahkan di kalangan masyarakat miskin, cukup mahal. Di pedesaan perayaan perkawinan sangat ritualistik dan tidak banyak mengeluarkan biaya untuk pemasangan tenda, dekorasi listrik, pita dan barang-barang lain yang menunjukkan status pihak yang merayakan ­perkawinan.

(7) Hubungan perkawinan diatur oleh norma kasta:

Salah satu ciri pernikahan yang mencolok di pedesaan adalah kesenjangan antara ritual pernikahan dan konsumsi pernikahan. Jika pengantin wanita belum mencapai kedewasaan, konsumsi pernikahan ditunda untuk masa yang akan datang. Dalam semua kasus, di pedesaan India, ada kesenjangan dalam penghayatan pernikahan dan ­konsumsi pernikahan. Sistem gauna yaitu membawa istri dari orang tuanya menandakan tanggal konsumsi perkawinan. Praktik konsumsi perkawinan ini hampir tidak ada di masyarakat perkotaan.

(8) Perjodohan:

Keistimewaan lain dari perkawinan di masyarakat pedesaan adalah banyaknya perjodohan. Di desa pedalaman ­tidak ada praktik yang memperbolehkan calon mempelai pria dan wanita untuk bertemu sebelum menikah. Pernikahan cinta atau pernikahan beda kasta adalah berita di sisi pedesaan. Merupakan tanggung jawab orang tua untuk mengatur pernikahan lingkungan mereka.

(9) Frekuensi perceraian yang lebih rendah:

Pernikahan Hindu adalah sakramen. Kasta yang lebih tinggi tidak mempraktikkan perceraian. Frekuensi perceraian di antara kasta yang lebih tinggi baik di pedesaan maupun di perkotaan adalah serupa. Namun, mengizinkan perceraian terhadap seorang istri tidak dipandang rendah di kalangan kasta yang lebih rendah.

(10) Prokreasi anak:

Salah satu ciri yang sangat mencolok dari ­perkawinan di pedesaan adalah prokreasi anak-anak dalam jangka waktu yang wajar setelah perkawinan. Keluarga berencana atau tidak berkeluarga diharapkan dari pasangan suami istri untuk melahirkan seorang anak. Jika seorang wanita tidak memiliki anak setelah menikah, banyak rumor yang beredar di desa.

Segala macam komentar dibuat terhadap suami dan istri. Bahkan potensi laki-laki ditantang dan perempuan dituduh mandul. Jadi, dalam masyarakat pedesaan, prokreasi merupakan bagian penting dari ­pernikahan. Dengan demikian, tentunya perkawinan pedesaan tidak sama dengan perkawinan perkotaan. Tradisi dan praktik lokal memberi bentuk khusus pada pernikahan di masyarakat pedesaan.

Related Posts