Pernikahan Hindu dan Muslim (7 Perbedaan)

Pernikahan Hindu dan Muslim (7 Perbedaan)

Perkawinan Hindu berbeda dengan perkawinan Islam dalam hal tujuan dan cita-cita:

(i) Tujuan dan cita-cita:

Perkawinan Hindu adalah sakramen agama karena dianggap lengkap hanya ketika upacara keagamaan tertentu dilakukan dengan iringan himne suci Veda. Sentimen agama memainkan peran dominan di sini. Di sisi lain pernikahan Muslim tidak ada hubungannya dengan agama. Ini murni kontrak sosial. Dharma dianggap sebagai tujuan utama pernikahan Hindu diikuti oleh “Praja” dan “Rati”. Seorang Hindu menikah dengan tujuan semata-mata untuk menjalankan tugas agama dan rumah tangga tertentu, sedangkan kepuasan dorongan seksual dan legalisasi anak adalah motif utama pernikahan Muslim.

(ii) Aturan endogami:

Aturan endogami membatasi umat Hindu untuk menikah dalam kasta mereka sendiri tetapi di antara umat Islam, pernikahan terjadi antara sanak saudara.

(iii) Aturan eksogami:

Mengenai aturan eksogami, komunitas Muslim menerapkannya pada kerabat yang sangat dekat; yang berhubungan erat satu sama lain. Namun di kalangan umat Hindu berlaku beberapa jenis aturan eksogami seperti eksogami gotra, eksogami praver dan eksogami sapinda yang menetapkan bahwa kerabat tujuh generasi dari pihak ayah dan lima generasi dari pihak ibu tidak boleh menikah satu sama lain. Oleh karena itu, bidang untuk menjalin ikatan perkawinan dalam masyarakat Hindu jauh lebih terbatas daripada di masyarakat Muslim.

(iv) Ciri-ciri sistem perkawinan:

Dalam pernikahan Muslim, lamaran datang dari pihak laki-laki dan harus diterima dalam pertemuan yang sama oleh pengantin wanita di hadapan dua saksi. Mereka juga melakukan poligami dan memiliki pertimbangan perkawinan yang tidak sah atau batal. Komunitas Syiah menyetujui pernikahan ‘Muta’ Muslim juga menekankan pada kapasitas seseorang untuk kawin kontrak tetapi hukum Hindu melarang bigami dan tidak memiliki aturan atau batal atau tidak ada ketentuan untuk pernikahan sementara dan tidak memiliki kebiasaan melamar dan menerima dan mereka melakukannya tidak percaya pada kemampuan membuat kontrak.

(v) Hubungan Perkawinan:

Perkawinan Hindu tidak dapat dipisahkan dan merupakan ikatan permanen, yang diyakini bertahan bahkan setelah kematian. Saat ini keputusan pengadilan diperlukan untuk pembubaran perkawinan. Sebaliknya laki-laki muslim dapat menceraikan istrinya atas kehendaknya sendiri hanya dengan mengucapkan talak. Pembubaran perkawinan di kalangan umat Islam tidak memerlukan campur tangan pengadilan.

(vi) Praktek Mahar:

Dalam komunitas Muslim kita menemukan kebiasaan mahar, yang dibayarkan oleh suami kepada istrinya pada saat pernikahan atau bahkan setelah dalam hal istri dan istri memiliki kendali mutlak atas hal itu. Ini sama sekali berbeda dengan sistem mahar Hindu.

(vii) Sifat Perkawinan:

Wanita Muslim menjalankan “Iddat” setelah pembubaran pernikahan tetapi umat Hindu tidak mengamati “Iddat” untuk kawin kontrak Janda Muslim diizinkan untuk menikah lagi setelah menunggu masa “iddat” tetapi dalam komunitas Hindu meskipun janda menikah kembali diterima secara hukum, dalam praktiknya itu dipandang rendah oleh komunitas Hindu. Dengan demikian jelas bahwa perempuan muslim belum diberikan hak yang sama dalam status perkawinan karena suami berhak mengawini beberapa perempuan sekaligus sedangkan istri hanya boleh menikah dengan satu laki-laki.

Related Posts