4 Metode Teratas untuk Mengukur Evapotranspirasi



Baca artikel ini untuk mempelajari empat metode berikut untuk mengukur evapotranspirasi, yaitu, (1) Lisimeter, (2) Percobaan Lapangan, (3) Studi Penipisan Kelembaban Tanah, (4) Metode Neraca Air.

1. Lisimeter:

Ini melibatkan penanaman tanaman dalam wadah besar (lysimeter) yang dipasang di ladang yang dipotong dan mengukur kehilangan dan perolehan airnya. Kondisi tanah dan tanaman dalam lysimeter ini harus sedekat mungkin dengan kondisi lapangan sekitarnya. Pengukuran melibatkan penimbangan lysimeter. Ini dapat dilakukan dengan skala atau dengan mengapungkan lysimeter di dalam air atau cairan berat yang sesuai di mana perubahan perpindahan cairan dihitung terhadap kehilangan air dari lysimeter.

Teknik ini berguna untuk pengukuran kehilangan air lapangan asalkan lysimeter memiliki ukuran yang sesuai dan tindakan pencegahan yang diperlukan dilakukan saat pemasangan. Untuk tanaman pendek, volume lysimeter harus minimal dua meter kubik (kedalaman 2 m) dan untuk tanaman tinggi seperti tebu volumenya harus empat meter kubik atau lebih (kedalaman 3 m). Lysimeter harus dikelilingi oleh area penjaga yang cukup besar dari tanaman yang sama dengan kondisi kelembaban yang sama untuk meminimalkan efek garis kain, jika data yang direkam memiliki hubungan dekat dengan kehilangan air tanaman di lapangan sekitarnya.

Air diterapkan dalam jumlah terukur ke lysimeter, karena irigasi diterapkan ke area sekitar yang dipotong. Luapan dan perkolasi yang dalam, jika ada, diukur. Air yang diterima baik melalui irigasi atau presipitasi, tidak termasuk limpahan, perkolasi yang dalam dan kelembaban tanah yang seimbang, merupakan air yang digunakan oleh tanaman dalam proses evapotranspirasi.

Metode ini sering menghadapi sejumlah masalah. Keterbatasan utama adalah reproduksi kondisi fisik seperti suhu, tabel air, tekstur tanah dan kepadatan dll, dalam lysimeter sebanding dengan yang ada di luar lapangan.

2. Eksperimen Lapangan:

Pengukuran air yang disuplai ke lapangan dan perubahan kadar air tanah di plot lapangan terkadang lebih dapat diandalkan untuk menghitung kebutuhan air musiman tanaman daripada pengukuran dengan tangki kecil atau lysimeter yang tidak bebas dari batasan. Kuantitas musiman air irigasi, curah hujan efektif yang diterima selama musim dan kontribusi kelembaban dari tanah dapat dinyatakan dengan

WR=IR+ER (M s – M e )

Di mana, WR = kebutuhan air musiman, mm

IR = total air irigasi yang diberikan, mm

ER = curah hujan efektif musiman, mm

M s = persentase kelembaban pada awal musim

M e = persentase kelembaban pada akhir musim.

Metode ini mensyaratkan bahwa jumlah air yang diterapkan ke lapangan diukur secara akurat. Metode ini, meskipun memuaskan untuk menghitung kebutuhan air musiman, tidak memberikan informasi tentang kondisi kelembaban tanah antara, penggunaan jangka pendek, penggunaan profil, kehilangan perkolasi yang dalam, dan laju penggunaan puncak tanaman.

3. Studi Penipisan Kelembaban Tanah:

Metode penipisan kelembaban tanah biasanya digunakan untuk menentukan penggunaan konsumtif dari tanaman irigasi lapangan yang ditanam pada tanah yang cukup seragam ketika kedalaman air tanah sedemikian rupa sehingga tidak akan mempengaruhi fluktuasi kelembaban tanah di dalam zona akar.

Studi-studi ini melibatkan pengukuran kelembaban tanah dari berbagai kedalaman pada beberapa waktu selama periode pertumbuhan. Sejumlah besar pengukuran diambil untuk menghitung penggunaan konsumtif rata-rata (CU). Penggunaan konsumtif musiman dihitung dengan menjumlahkan nilai penggunaan konsumtif setiap interval sampling.

4. Metode Neraca Air:

Metode neraca air cocok untuk area yang luas (DAS) dalam jangka waktu yang lama. Ini dapat diwakili oleh persamaan hidrologi berikut:

Curah hujan = Evapotranspirasi + limpasan permukaan + drainase bawah permukaan + perubahan kandungan air tanah

Metode ini membutuhkan pengukuran yang memadai dari semua faktor, kecuali evapotranspirasi. Metode ini juga disebut metode inflow-outflow.

Related Posts