Akulturasi dan Perkembangan Budaya Islam di Indonesia



Coba perhatikan secara cermat gambar  menara  Masjid Kudus di bawah. Bentuknya unik seperti candi langgam Jawa Timur. Di bagian atas  ada  bedug  yang  dibunyikan  seiring  datangnya waktu  salat. Itulah bentuk  nyata  akulturasi  dalam  kebudayaan di Indonesia.

Di Nusantara  banyak terdapat bangunan yang akulturatif  dan budaya non fisik yang merupakan perpaduan antara  budaya  Islam dengan budaya  lain. Untuk lebih menghayati perkembangan hasil budaya ini, kamu dapat  mengkaji uraian berikut.

Islam merupakan salah satu agama yang masuk dan berkembang di Indonesia. Hal ini tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi Anda, karena di mass media mungkin Anda sudah sering mendengar atau membaca bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki penganut agama Islam terbesar di dunia

Agama Islam masuk ke Indonesia dimulai dari daerah pesisir pantai, kemudian diteruskan ke daerah pedalaman oleh para ulama atau penyebar ajaran Islam.

Mengenai kapan Islam masuk ke Indonesia dan siapa pembawanya terdapat beberapa teori yang mendukungnya. Untuk lebih jelasnya silahkan Anda simak uraian materi berikut ini. Proses Masuk dan Berkembangnya Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia

Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan teori Persia.

Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang permasalah waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara. Untuk mengetahui lebih jauh dari teori-teori tersebut, silahkan Anda simak uraian materi berikut ini.

Akulturasi dan Perkembangan Budaya Islam di Indonesia
Akulturasi dan Perkembangan Budaya Islam di Indonesia

Teori Gujarat

Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:

Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.

Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.

Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat. Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.

Teori Makkah

Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:

Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.

Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.

Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.

Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.

Proses masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia pada dasarnya dilakukan dengan jalan damai melalui beberapa jalur/saluran yaitu melalui perdagangan seperti yang dilakukan oleh pedagang Arab, Persia dan Gujarat.

Pedagang tersebut berinteraksi/bergaul dengan masyarakat Indonesia. Pada kesempatan tersebut dipergunakan untuk menyebarkan ajaran Islam. Selanjutnya diantara pedagang tersebut ada yang terus menetap, atau mendirikan perkampungan, seperti pedagang Gujarat mendirikan perkampungan Pekojan.

Dengan adanya perkampungan pedagang, maka interaksi semakin sering bahkan ada yang sampai menikah dengan wanita Indonesia, sehingga proses penyebaran Islam semakin cepat berkembang.

Perkembangan Islam yang cepat menyebabkan muncul tokoh ulama atau mubaliqh yang menyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok pesantren.

Pondok pesantren adalah tempat para pemuda dari berbagai daerah dan kalangan masyarakat menimba ilmu agama Islam. Setelah tammat dari pondok tersebut, maka para pemuda menjadi juru dakwah untuk menyebarkan Islam di daerahnya masing-masing.

Di samping penyebaran Islam melalui saluran yang telah dijelaskan di atas, Islam juga disebarkan melalui kesenian, misalnya melalui pertunjukkan seni gamelan ataupun wayang kulit. Dengan demikian Islam semakin cepat berkembang dan mudah diterima oleh rakyat Indonesia.

Di pulau Jawa, peranan mubaligh dan ulama tergabung dalam kelompok para wali yang dikenal dengan sebutan walisongo yang merupakan suatu majelis yang berjumlah sembilan orang. Majelis ini berlangsung dalam beberapa periode secara bersambung, mengganti ulama yang wafat / hijrah ke luar Jawa. Dari penjelasan tersebut apakah Anda sudah paham, kalau sudah paham simak uraian materi berikutnya tentang periode penyebaran islam oleh para ulama/wali tersebut.

  1. Periode I : Penyebaran Islam dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq (-), Ahmad Jumadil Qubra, Muhammad Al-Magribi, Malik Israil, Muhammad Al-Akbar, Maulana Hasannudin, Aliyuddin dan Syeikh Subakir (-).
  2. Periode II : Penyebaran Islam digantikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel Denta), Ja’far Shiddiq (Sunan Kudus), Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
  3. Periode III : hijrahnya Maulana Ishaq dan Syeikh Subakir, dan wafatnya Maulana Hassanudin dan Aliyuddin maka penyebar Islam pada periode ini dilakukan oleh Raden Paku (Sunan Giri), Raden Said (Sunan Kalijaga), Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Qashim (Sunan Drajat).
  4. Periode IV : Penyebar Islam selanjutnya adalah Jumadil Kubra dan Muhammad Al-Maghribi dan kemudian digantikan oleh Raden Hasan (Raden Patah) dan Fadhilah Khan (Falatehan).
  5. Periode V : Untuk periode ini karena Raden Patah menjadi Sultan Demak maka yang menggantikan posisinya adalah Sunan Muria.

Para wali / ulama yang dikenal dengan sebutan walisongo di Pulau Jawa terdiri dari :

Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan Islam di Jawa Timur.

Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya.

Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).

Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.

Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri (Gresik).

Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus.

Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak.

Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.

Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa Barat (Cirebon).

Sembilan wali yang sangat terkenal di pulau Jawa, Masyarakat Jawa sebagian memandang para wali memiliki kesempurnaan hidup dan selalu dekat dengan Allah, sehingga dikenal dengan sebutan Waliullah yang artinya orang yang dikasihi Allah.

Pada masa perkembangan Islam di zaman  madya, berkembang     ajaran      bahwa seni ukir, patung, dan melukis makhluk    hidup,    apalagi manusia secara nyata, tidak diperbolehkan. Di Indonesia ajaran tersebut ditaati. Hal ini menyebabkan seni patung di Indonesia pada zaman madya, kurang  berkembang.  Padahal pada    masa    sebelumnya    seni

patung sangat berkembang, baik patung-patung bentuk   manusia  maupun  binatang. Akan  tetapi, sesudah zaman madya, seni patung berkembang seperti yang dapat kita saksikan sekarang  ini.

Walaupun   seni   patung  untuk   menggambarkan   makhluk hidup  secara  nyata  tidak  diperbolehkan. Akan tetapi,  seni  pahat atau  seni  ukir terus  berkembang. Para  seniman  tidak  ragu-ragu mengembangkan seni hias dan seni ukir dengan motif daun-daunan dan bunga-bungaan seperti yang telah dikembangkan sebelumnya. Kemudian  juga  ditambah seni hias dengan huruf  Arab (kaligrafi). Bahkan muncul  kreasi baru,  yaitu kalau terpaksa  ingin melukiskan makluk  hidup,  akan  disamar  dengan berbagai   hiasan,  sehingga tidak lagi jelas-jelas berwujud  binatang atau manusia.

Banyak sekali bangunan-bangunan Islam yang dihiasi dengan berbagai  motif  ukir-ukiran.  Misalnya, ukir-ukiran  pada  pintu  atau tiang  pada  bangunan keraton  ataupun masjid, pada  gapura  atau pintu gerbang.

Dikembangkan juga seni hias atau  seni ukir dengan bentuk  tulisan Arab yang dicampur  dengan ragam  hias yang lain. Bahkan ada  seni kaligrafi yang membentuk orang,  binatang, atau wayang.

Sumber: Sejarah SMA/MA Kelas Kemdikbud 2014

Related Posts