
Serangan gencar Belanda dalam Agresi Militer Pertamanya membuat Pasukan Republik menjadi terpencar-pencar tanpa koordinasi. Ditambah lagi persenjataan Tentara Republik terlalu ringan untuk menghadapi persenjataan dan peralatan tempur Belanda. Dalam kondisi seperti itu, para pemimpin Tentara Republik memilih taktik gerilya dalam upaya memenangkan peperangan.
Perang gerilya merupakan bentuk perang yang tidak terikat secara resmi pada ketentuan perang. Perang gerilya bangsa Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a. Menghindari perang terbuka.
b. Menghantam musuh secara tiba-tiba.
c. Menghilang di tengah Iebatnya hutan atau kegelapan malam.
d. Menyamar sebagai rakyat biasa
Memasuki bulan-bulan akhir tahun 1947, Tentara Republik yang bergerilya mulal terorganisir dan memiliki komando gerilya yang dinamis. Akibatnya, Belanda menjadi kesulitan untuk menggempur Tentara Republik. Setiap sasaran yang diserang Belanda, banyak yang telah kosong.
Namun, pada saat yang tidak disangka-sangka, Tentara Republik menyerang kedudukan Belanda dengan cepat. Saat Belanda kembali melancarkan serangan, kubu-kubu Tentara Republik telah kosong. Dengan demikian, Belanda hanya menguasai kota-kota besar dan jalan-jalan raya.
Pada 19 Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua. Panglima Besar Jenderal Soedirman memerintahkan Tentara Republik ke luar kota untuk bergerilya kembali. Soedirman memutuskan untuk memimpin gerilya sekalipun waktu itu beliau dalam keadaan sakit berat (TBC). Jenderal Soedirman memimpin perjuangan gerilya dengan berpindah-pindah.
Dalam keadaan kesehatannya yang makin menurun dan terpaksa harus ditandu, Jenderal Soedirman menjelajahi wilayah gerilya di daerah selatan Jogjakarta, Karesidenan Surakarta, Madiun, dan Kediri. Dengan makin dipertajamnya perang gerilya, Tentara Republik mulai memegang inisiatif pertempuran. Belanda menjadi terdesak dan barisan pertahanannya banyak yang hancur. Dalam keadaan demikian, dunia internasional makin gencar mengecam Belanda, sehingga negeri itu bersedia mengadakan perundingan dengan pihak Indonesia.
Ketika perundingan tengah berlangsung, pada 1 Mel 1949 Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman mengeluarkan amanat kepada para komandan kesatuan agar tidak turut memikirkan Perundingan Roem-Royen. Menurut Soedinman, hal ini hanya akan merugikan pentahanan dan penjuangan. Selain itu, la pun menyerukan agar tetap waspada meskipun perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan bersama.