Faktor penyebab terjadinya perang diponegoro secara umum dan khusus



Perlawanan rakyat Jawa pimpinan Pangeran Diponegoro pada tahun 1825 – 1830 merupakan salah satu perlawanan kepada pemerintah kolonial Belanda. Penyebab terjadinya Perang Diponegoro dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebab umum dan sebab khusus.

Adapun sebab-sebab umum terjadinya perlawanan Diponegoro antara lain sebagai berikut:
a) Wilayah Kesultanan Mataram semakin sempit dan para raja sebagai penguasa pribumi mulai kehilangan kedaulatan.
b) Belanda ikut campur tangan dalam urusan intern kesultanan, misalnya soal pergantian raja dan pengangkatan patih.
c) Timbulnya kekecewaan di kalangan para ulama, karena masuknya budaya barat yang tidak sesuai dengan Islam.
d) Sebagian bangsawan merasa kecewa karena Belanda tidak mau mengikuti adat istiadat kraton.
e) Sebagian bangsawan kecewa terhadap Belanda karena telah menghapus sistem penyewaan tanah oleh para, bangsawan kepada petani (mulai tahun 1824).
f) Kehidupan rakyat yang semakin menderita di samping harus kerja paksa masih harus ditambah beban membayar berbagai macam pajak.

Adapun Peristiwa yang menjadi sebab khusus berkobamya perang Diponegoro adalah pemasangan patok oleh Belanda untuk pembangunan jalan yang melintasi tanah dan makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Pemasangan patok itu tanpa izin, sehingga sangat ditentang oleh Pangeran Diponegoro.

Sebab-Sebab Umum perang diponegoro

1) Wilayah Mataram semakin dipersempit dan terpecah

Karena ulah penjajah, kerajaan Mataram yang besar, di bawah Sultan Agung Hanyokrokusumo, terpecah belah menjadi kerajaan yang kecil. Melalui perjanjian Gianti 1755, kerajaan Mataram dipecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayoyakarta. Dengan perjanjian Salatiga 1757 muncullah kekuasaan baru yang disebut Mangkunegaran dan pada tahun 1813 muncul kekuasaan Pakualam. Kenyataan inilah yang dihadapi oleh Diponegoro.

2) Masuknya adat Barat ke dalam kraton

Pengaruh Belanda di kraton makin bertambah besar. Adat kebiasaan kraton Yogyakarta seperti menyajikan sirih untuk Sultan bagi pembesar Belanda yang menghadap Sultan, dihapuskan. Pembesar-pembesar Belanda duduk sejajar dengan sultan. Yang paling mengkhawatirkan adalah masuknya minuman keras ke kraton dan beredar di kalangan rakyat.

3) Belanda ikut campur tangan dalam urusan kraton

Campur tangan yang amat dalam mengenai penggantian tahta dilaksanakan oleh Belanda.

Demikian pula mengenai pengangkatan birokrasi kerajaan. Misalnya pengangkatan beberapa

pegawai yang ditugaskan untuk memungut pajak.

4) Hak-hak para bangsawan dan abdi dalem dikurangi

Telah terjadi kebiasaan bahwa kepada keluarga raja (sentana dalem), memberikan jaminan hidup berupa tanah apanase, juga kepada pegawai kerajaan (abdi dalem) diberikan gaji berupa tanah lungguh. Pada masa Kompeni maupun masa kolonial Inggris dan Belanda, banyak tanah-tanah tersebut diambil oleh pemerintah kolonial. Dengan demikian para bangsawan (sentana dalem) dan para abdi banyak yang kehilangan sumber penghasilan. Akibatnya di hati mereka timbul rasa tidak senang karena hak-haknya dikurangi, termasuk hak-hak raja dan kerajaan.

5) Rakyat menderita akibat dibebani berbagai pajak

Berbagai macam pajak yang dibebankan pada rakyat, antara lain:

– pejongket (pajak pindah rumah);

– kering aji (pajak tanah);

– pengawang-awang (pajak halaman-pekarangan);

– pencumpling (pajak jumlah pintu);

– pajigar (pajak ternak);

– penyongket (pajak pindah nama);

– bekti (pajak menyewa tanah atau menerima jabatan).

Sebab Khusus perang diponegoro

Sebab yang meledakkan perang ialah provokasi yang dilakukan penguasa Belanda seperti merencanakan pembuatan jalan menerobos tanah Pangeran Diponegoro dan membongkar makam keramat. Sebagai protes patok-patok (tanda dari tongkat kayu pendek) untuk pembuatan jalan dicabut dan diganti dengan tombak-tombak. Residen Smissaert berusaha mengadakan perundingan tetapi, Pangeran Diponegoro tidak muncul, hanya mengirim wakilnya, Pangeran Mangkubumi. Asisten Residen Chevallier untuk menangkap kedua pangeran, digagalkan oleh barisan rakyat di Tegalreja. Mereka telah meninggalkan

tempat. Pangeran Diponegoro pindah ke Selarong tempat ia memimpin perang.

Pangeran Diponegoro minta kepada Residen agar Patih Danurejo dipecat. Surat baru mulai ditulis mendadak rumah Pangeran Diponegoro diserbu oleh serdadu Belanda di bawah pimpinan Chevailer. Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo beserta keluarganya. Rumah Pangeran Diponegoro dibakar habis. Dia diikuti oleh Pangeran Mangkubumi. Pergilah mereka ke Kalisoka dan dari sanalah meletus perlawanan Pangeran Diponegoro (20 Juli 1825). Banyak para pangeran dan rakyat menyusul Pangeran Diponegoro ke Kalisoka untuk ikut melakukan perlawanan dengan berlandaskan tekad perang suci membela agama Islam (Perang Sabil) menentang ketidakadilan. Dari Kalisoka pengikut Pangeran Diponegoro tersebut dibawa ke Goa Selarong, jaraknya 7 pal (13 km) dari Yogyakarta. Pasukan Belanda yang mengejar Pangeran Diponegoro dapat dibinasakan oleh pasukan Pangeran Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Yogyakarta menjadi kacau, prajurit Belanda dan Sultan Hamengku Buwana V menyingkir ke Benteng Vredenburg.

Related Posts