Inilah Hubungan Sejarah Dengan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya



Keterkaitan sejarah dengan ilmu sosial lainnya pastinya terdapat hubungan yang saling menunjang. Seperti halnya uraian di bawah ini yang akan menjelaskan keterkaitan sejarah dan ilmu sosialnya, untuk lebih jelas lagi seperti apa hubungan diantaranya silahkan baca artikel di bawah semoga bermanfaat!

Dalam sejarah dan ilmu sosial terdapat keterkaitan yang saling menunjang. Sebab pada hakikatnya sejarah merupakan bagian dari ilmu sosial. Sejarah serta ilmu sosial memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Sejarah pada basicnya merupakan ilmu diakronik, yakni memajang di dalam waktu serta menyempit di dalam ruang. Sementara ilmu sosial merupakan ilmu sinkronik, yakni menyempit di dalam waktu serta melebar di dalam ruang. Sehingga tatkala sejarah dengan ilmu sosial bertemu, sejarah akan menjadi ilmu diakronis serta otomatis sinkronis, yakni melebar di dalam waktu, serta melebar juga di dalam ruang. Maka dari itu, sejarah bisa menjadi ilmu yang dapat mencakup segalanya.

Oleh sebab itu seorang ahli sejarah mesti dapat berpikir double, baik diakronis ataupun sinkronis.

Pada sejarah histografi di negara Amerika, terdapat The New History (1912) yang menganjurkan kooperasi diantaranya ilmu sosial dengan ilmu sejarah. Seperti halnya juga aliran Annales (1929) di negara Perancis melakukan hal sama. Di Negara Indonesia yang pertama kali menganjurkan kooperasi ilmu sejarah dengan ilmu sosial yakni Sartono Kartodirjo. Semenjak tahun 1967 kuliah-kuliahnya di UGM selalu berkaitan dengan hal tersebut, serta penulisan buku yang dia pimpin, Sejarah Nasional ( 6 jilid pada 1970), dan buku-bukunya sendiri Peasant’s Revolt Of Banten in 1888 (1966) dan Protest Movement in Rural Java (1973) menunjukkan kedekatan sejarah dan ilmu sosial (Kuntowijoyo 1995: 118). Dan juga ada beberapa penulis yang menulis yang menulis tentang keterkaitan antara sejarah dengan ilmu sosial di antaranya oleh M.N. Srinivas Social Change In Modern Cina. Meskipun buku ini sebenarnya adalah buku antropologi, tetapi topiknya ialah sejarah mentalitas (Kuntowijoyo 1995:120).

Di bawah ini adalah hubungan antara sejarah dengan beberapa ilmu- ilmu sosial :

  1. Hubungan Sejarah dengan Sosiologi

Gejala sosial sangatlah wajar dan relevan untuk dipelajari dengan pendekatan sosiologis. Misalnya saja perubahan sosial. Perubahan sosial merupakan tema yang cukup luas cakupannya. Perubahan sosial secara intern juga mencakup transformasi struktur pada sistem produksi, sistem sosial, dan politik.

Analitis histories yang memakai perspektif struktural hanya bisa dijelaskan dengan pertolongan ilmu sosial pada umumnya dan sosiologi pada khususnya. Selain itu sejarah analitis dan sejarah struktural hanya dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan sosiologis pada khususnya dan ilmu sosial pada umumnya. Dengan perkembangan jenis-jenis sejarah tersebut terbuka kesempatan luas munculnya sejarah – sejarah baru. Antara lain, sejarah politik gaya baru, sejarah sosial, sejarah sosiologi, sosiologi sejarah, sejarah agraris. Sejarah sosiologi menunjuk pada sejarah yang disusun dengan pendekatan sosiologi, yang dilakukan oleh seorang sejarawan, sedangkan sosiologi sejarah adalah studi sosiologi mengenai suatu kejadian atau gejala di masa lampau, yang dilakukan oleh sosiolog. Hasil dari keduanya mungkin tidak banyak berbeda. Dalam perkembangannya sampai sekarang rupanya lebih banyak karya sosiologi sejarah. Penggarapan sejarah oleh seorang sosiolog didasarkan atas bahan-bahan sejarah yang diperoleh oleh sejarawan. Sosiolog tidak dapat melakukan kritik sumber. Pendekatan sosiologi dapat saja dilakukan oleh sejarawan yang telah menguasai konsep dan teori tantang sosiologi. Pada sejarawan masih ada kewajiban melakukan kritik sumber yang pengkajiannya menuntut hal itu.

  1. Hubungan Sejarah dengan Antropologi

Hubungan antara sejarah dan antropologi dilihat karena keduanya mempunyai persamaan yang menempatkan manusia sebagai subyek dan obyek dalam kajiannya. Di samping terdapat perbedaan, keduanya juga memiliki persamaan,bila sejarah membatasi pada penggambaran suatu peristiwa sebagai proses di masa lampau dalam bentuk cerita enmalig ( sekali terjadi ), hal ini tidak termasuk bidang kajian antrpologi, namun jika suatu penggambaran sejarah menampilkan masyarakat di masa lampau dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, politik, religi, dan keseniannya. Maka gambaran tersebut mencakup unsur-unsur kebudayaan masyarakat, dalam hal ini ada persamaan bahkan tumpang tindih antara sejarah dan antropologi (Kartodjirjo 1993 : 153).

Dalam studi antropologi diperlukan pula penjelasan tentang struktur sosial berupa lembaga-lembaga, pranata, dan sistem-sistem, yang semuanya itu akan dapat dijelaskan lebih rinci apabila diungkapkan bahwa struktur itu adalah hasil
Dari suatu perkembangan di masa lampau. Karena antropologi juga mempelajari obyek yang sama, yaitu tiga jenis fakta yang terdiri atas artifact, sociofact, dan mentifact, di mana semua itu adalah produk historis dan hanya dapat dijelaskan dengan melacak sejarah perkembangannnya. Fakta adalah petunjuk suatu kejadian.

Sebagai suatu konstruk maka fakta adalah hasil strukturasi oleh seorang obyek. Begitu pun artifact sebagai benda fisik adalah konkret dan merupakan hasil buatan. Artifact menunjukkan kepada proses pembuatan yangtelah terjadi di masa lampau. Sebagai analoginya, sociofact yang menunjuk kapada kejadian sosial (interaksi antara aktor dan proses aktivitas kolektif ) yang telah mengkristalisasi sebagai pranata, lembaga, organisasi, dan lain sebagainya. Jelaslah bahwa untuk memahami struktur dan karakteristik sociofact perlu dilacak asal usulnya., proses pertumbuhannya, sampai wujud sekarang. Pendeknya, segala sesuatu dan keadaan yang kita hadapi dewasa ini tidak lain adalah hasil dari perkembangan masa lampau jadi produk sejarahnya (Kartodjirjo 1993:154).

  1. Hubungan Sejarah dengan Psikologi

Dalam cerita sejarah, pelaku sejarah senantiasa mendapat sorotan yang tajam, baik sebagai individu maupun kelompok. Sebagai individu, tidak lepas dari peranan faktor-faktor internal yang bersifat psikologis, seperti motivasi, minat, konsep diri dan sebagainya yang selalu berinteraksi dengan faktor-fakor eksternal yang bersifat sosiologis, seperti lingkungan keluarga, lingkungan sosial budaya, dan sebagainya.
Begitu pula dalam pelaku yang bersifat kelompok menunjuk sifat kolektif, yaitu gejala yang menjadi obyek khusus psikologi sosial. Dalam peristiwa sejarah, perilaku kolektif sangat mencolok, antara lain sewaktu ada huru hara, gerakan sosial, protes yang revolusioner, semuanya menuntut penjelasan berdasarkan psikologi dari motivasi, sikap, dan tindakan kolektif (Kartodjirjo 1993 : 139). Dalan hal tersebut psikologi berperan untuk mengungkap beberapa faktor tersembunyi sebagai bagian proses mental.

  1. Hubungan Sejarah dengan Ilmu Politik

Sejarah adalah identik dengan politik, sejauh keduanya menunjukkan proses yang mencakup keterlibatan para pelaku dalam interaksinya serta peranannya dalam usahanya memperoleh apa, siapa, kapan, dan bagaimana (Kartodjirjo 1993 : 149).
Sampai sekarang pun sejarah politik masih menonjol, walaupun tidak terlalu dominan seperti masa lampau. Pengaruh politik dan ilmu-ilmu sosial sangat besar dalam penulisan sejarah politik atau disebut sejarah politik gaya baru.

Apabila politik didefinisikan sebagai distribusi kekuasaan maka sudah jelas faktor sosial, ekonomi, dan kultural, dapat menjadi pengaruh. Barang siapa yang mempunyai status atau menduduki posisi tinggi maka ia dapat mempunyai kesempatan untuk memperoleh kekuasaan. Dia lebih mudah mengambil peranan sebagai pemimpin. Berdasarkan relasinya, ada sumber daya ekonomi untuk melakukan peranan politiknya, artinya menyebarkan pengaruhnya. Kalau dapat dibenarkan status sering membawa kekayaan, namun tidak selalu benar kekayaan dapat membawa status dan kekuasaan (Kartodjirjo 1993: 149).
Dalam distribusi kekuasaan, faktor kultural juga merupakan penentu, sebab jenis otoritas dan struktur kekuasaan sangat dipengaruhi oleh orientasi nilai-nilai pandangan hidup para pelaku. Kerangka konseptual ilmu politik menyediakan banyak alat analitis untuk menguraikan berbagai unsur politik, aspek politik, kelakuan pelaku, nilai-nilai yang melembaga sebagai sistem politik dan lain sebagainya (Kartodjirjo 1993: 149-150).

  1. Hubungan Sejarah dengan Ilmu Ekonomi

Mulai abad 20 sejarah ekonomi dalam berbagai aspeknya semakin menonjol, apalagi setelah proses modermisasi, dimana hampir setiap bangsa di dunia lebih memfokuskan pada pembangunan ekonomi. Terutama proses industrualisasi beserta transformasi sosialnya menuntut kajian ekonomi dari sistem agraris menuju ke sistem industrial (Kartodirjo, 1993:36).
Terbentuknya jaringan transportasi, perdagangan, jaringan daerah industri dan bahan mentah menyebabkan munculnya sistem ekonomi global. Sistem ini mempunyai pengaruh yang luas dan mendalam, tidak hanya di bidang ekonomi melainkan juga bidang politik. Hal ini dicerminkan oleh pertumbuhan kapitalisme. Dengan adanya ekspansi politik yang mendukungnya maka timbulah the scramble for coconies, perebutan jajahan atau imperialisme (Kartodirjo, 1993:137).

Hal ini menyebabkan kompleksitas sistem ekonomi membutuhkan pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik dll. Untuk mengkaji fenomena ekonomis di negeri yang sedang berkembang perlu pula dipergunakan ilmu bantu seperti antropologi ekonomi. Dalam pendekatannya, sistem ekonomi berangkat dari pola produksi, distribusi dan konsumsi yang sering ditentukan oleh sistem sosial dan stratifikasinya. Akhirnya, kesemuanya dipengaruhi oleh faktor kultural, selanjutnya dalam perkembangannya sejarah ekonomi mengalami pula differensiasi dan subspesialisasi, antara lain:

  1. Sejarah pertanian
  2. Sejarah kota
  3. Sejarah formasi kapital
  4. Sejarah bisnis
  5. Sejarah perburuan
  6. Hubungan Sejarah dengan Geografi

Setiap peristiwa sejarah senantiasa memiliki lingkup temporal dan spasial (waktu dan ruang), kedua-duanya merupakan faktor yang membatasi gejala sejarah tertentu sebagai unit (kesatuan), apakah itu perang, riwayat hidup, kerajaan dan sebagainya. Pertanyaan tentang dimana sesuatu terjadi sudah barang tentu menunjukkan kepada dimensi geografis, yaitu apabila yang dikaji adalah proses sejarah nasional (Kartodirjo, 1992:130).
Mengenai kedekatan ilmu geografi dan sejarah tersebut, ibarat sekutu lama sejak zaman geografiwan dan sejarahwan Yunani Kuno Herodotus. Menurutnya, sejarah dan geografi sudah demikian terkait, ibarat terkaitnya pelaku, waktu dan ruang secara terpadu sehingga dapat dikatakan secara kiasan bahwa suatu daerah atau tempat mempunyai karakteristik atau ciri khas karena bekas-bekas peristiwa sejarah yang terjadi di tempat tersebut.
Proses sejarah mengintregasikan daerah-daerah tertentu sebagai unit kultural atau politik. Pada hakikatnya peta politik menunjukkan bahwa negara-negara nasion adalah unit wilayah yang terbentuk oleh proses sejarah, mungkin dalam jangka pendek atau jangka panjang yang merupakan produk historis.

Peta geografi kultural mewujudkan mozaik daerah-daerah yang sama kebudayaannya tetapi terpisah satu dari yang lain.

Apabila dalam kerangka negara nasional tanah air dan bangsa merupakan identitas negara dan rakyatnya, hal itu disebabkan karena tanah air sebagai wilayah negara yang terjadi dalam perkembangan sejarah rakyat tersebut, dengan kata lain, bagaimana proses intregasi sepanjang nasa telah berhasil menyatukan sebagai bangsa. Dalam hubungan ini menjadi jelas bahwa proses sejarahlah yang membentuk nation.

Related Posts