
Pada tanggal 15 Agustus 1950, ditetapkan UUDS 1950. Bentuk negara serikat berubah menjadi bentuk Negara kesatuan, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan konstitusi ini tidak banyak berpengaruh pada bidang keuangan, karena pasal-pasal yang menyangkut bidang keuangan status kepemilikan bank sirkulasi sama dengan pasal-pasal yang tercantum pada Konstitusi RIS.
Dengan demikian perubahan dari bentuk Negara federal menjadi negara kesatuan tidak mempengaruhi kedudukan De Javasche Bank.
Dengan tidak berubahnya bentuk dan status De Javasche Bank, maka fungsinya pun tetap seperti sediakala. Demikian juga dengan personalia kepemimpinannya. Hampir seluruhnya masih dijabat oleh orang-orang Belanda.
Keadaan seperti ini jelas menyebabkan kedudukan Pemerintah Republik Indonesia menjadi sangat lemah. Di satu pihak, pemerintah sudah memiliki dan diperlengkapi dengan suatu bank sirkulasi. Namun di pihak lain, bank tersebut tidak dikelola oleh orang-orang Indonesia, melainkan oleh orang-orang Belanda.
Kelemahan ini bersumber pada hasil persetujuan KMB yang memuat ketentuan-ketentuan berikut.
– Suatu Peraturan Pemerintah Indonesia, sepanjang menyangkut De Javasche Bank, terlebih dulu harus dikonsultasikan dengan Pemerintah Belanda, termasuk pula terhadap perubahan personalia direksi bank bersangkutan.
– Konsultasi dengan Pemerintah Belanda tersebut diwajibkan pula untuk kredit-kredit yang akan diberikan oleh De Javasche Bank kepada Pemerintah Indonesia.
Ketentuan ini sangat menghambat pemerintah Indonesia dalam menjalankan kebijaksanaan moneter dan ekonomi yang dikehendakinya. Oleh karena itu tidak heran kalau terdapat desakan-desakan agar De Javasche Bank di nasionalisasikan dan menjadi bank milik pemerintah Indonesia.
Dalam Keterangan Pemerintah tanggal 28 Mei 1951 di depan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dikemukakan rencana Pemerintah mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Pada tanggal 19 Juni 1951, dibentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank. Tugas panitia tersebut adalah mengajukan usul mengenai nasionalisasi, rencana undang-undang nasionalisasi, serta merencanakan undang-undang yang baru mengenai Bank Sentral. Panitia diberi wewenang untuk mengadakan perundingan-perundingan mengenai nasionalisasi tersebut sebagai tindakan-tindakan persiapan. Kemudian, Pemerintah mengangkat Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai Presiden De Javasche Bank berdasarkan keputusan Presiden RI No. 123 tanggal 12 Juli 1951. Sebelumnya, pemerintah telah memberhentikan Dr. Houwink (warga negara Belanda) sebagai Presiden De Javasche Bank berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 122 tanggai 12 Juli 1951.
Atas saran Panitia Nasionalisasi, pada tanggai 3 Agustus 1951 Pemerintah mengumumkan bahwa Pemerintah bersedia membeli surat-surat yang ada pada pemegang saham ataupun sertifikat dari saham-saham De Javasche Bank dengan kurs 120 persen mata uang Nederland atau harga lawan dalam satuan mata uang dari negara tempat mereka tinggal. Dengan pengertian bahwa pemegang surat-surat yang mempunyai kewarganegaraan Indonesia dan menjadi penduduk Indonesia akan menerima pembayaran dalam rupiah dengan kurs 360 persen.
Jangka waktu pembayaran secara sukarela tersebut berakhir pada akhir bulan September 1951 dan kemudian diperpanjang lagi sampai 15 Oktober 1951. Namun, diam kenyataannya. Saham-saham yang diajukan itu melewati waktu yang telah ditetapkan. Penyerahan itu berjalan dengan lancar dan saham-saham serta sertifikat-sertifikat yang ditawarkan secara sukarela dapat mencapai jumlah Rp. 8,95 juta (nominal).
Pada tanggal 15 Desember 1951 diumumkan Undang-Undang No. 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V. menjadi Bank Indonesia (BI) yang berfungsi sebagai Bank Sentral dan Bank Sirkulasi.
Undang-undang tersebut diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 11/1953 dan Lembaran Negara No. 40. Dengan UU dan Lembaran Negara tersebut dikeluarkan UU Pokok Bank Indonesia yang mulai berlaku tanggal 1 Juli 1953. Dengan dikeluarkannya UU Pokok Bank Indonesia itu, semakin kukuhlah Bank Indonesia sebagai Bank milik Pemerintah RI. Dalam UU pokok BI tersebut, modal BI ditetapkan sebanyak Rp. 25 juta, dan bertindak sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. Kegiatan-kegiatan De Javasche Bank sebagai bank biasa dan dagang diserahkan kepada bank-bank lain yang ditunjuk dengan undang-undang. Jabatan presiden diganti dengan Gubernur, Menteri Keuangan, Perekonomian dan Gubernur Bank Indonesia adalah Dewan Moneter yang membawahi Direksi. Kebijaksanaan moneter ditentukan oleh dewan, sedangkan direksi bank bertindak sebagai pelaksana. Dewan komisaris ditiadakan dan diganti dengan dewan penasihat yang memberikan nasihat kepada dewan moneter.
Dalam masa sistem Ekonomi Terpimpin, semua bank yang dikuasai oleh Negara disatukan dengan nama Bank Negara Indonesia, ditambah dengan nomor unit. Pada bulan Agustus 1965, Bank Indonesia menjadi Bank Negara Indonesia Unit I.