Penyebab terjadinya Perang Padri



Ada dua faktor utama yang menjadi penyebab perang padri yaitu perselisihan kaum adat dan kaum padri serta keberpihakan belanda pada kaun adat ikut menyulut terjadinya perang padri. Campur tangan Belanda dalam perselisihan antara kaum adat dan kaum padri.

Perselisihan itu sendiri berawal ketika kaum padri yang dipelopori Haji Sumanih, Haji Piabang, dan Haji Si Miskin, yang baru saja pulang dari Mekkah, berkeinginan memberantas kebiasaan berjudi, minum-minuman keras, dan menyabung ayam yang dilakukan orang-orang Minangkabau.

Tetapi keinginan kaum padri yang telah diilhami paham Wahabi mencita-citakan kehidupan yang murni dan bersih dari penyimpangan ajaran al-Qur’an itu, ditentang oleh kaum adat Dalam perselisihan itu, Belanda memihak kepada kaum adat.

Jalannya Perang

Pada tahun 1821, kaum padri mulai menyerang pos-pos Belanda yang ada di Semawang, Sulit Air, Sipinang, Rau, Enam Kota, dan Tanjung Alam. Di dalam pasukan kaum padri itu terdapat seorang pemimpin yang bernama Malim Basa, atau Muhammad Syahab. Pusat Perlawanannya di Bonjol sehingga kemudian ia dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol. Pada pertempuran itu Belanda dan kaum padri saling mengalahkan. Belanda kemudian mendirikan benteng Fort van der Capellen, di Batu Sangkar sebagai pertahanan, sedangkan kaum adat mendirikan benteng di Bonio, Agam, dan Bonjol.

Pada tahun 1825 meletus Perang Diponegoro di Jawa. Guna memperkuat pasukan di Jawa, Belanda melakukan taktik damai dengan mengadakan Perjanjian Padang tahun 1825 dengan kaum padri. Tetapi ketika Perang Diponegoro selesai pada tahun 1830, Belanda melanggar perjanjian dan melakukan tekanan-tekanan kepada rakyat, termasuk terhadap kaum adat.

Tindakan Belanda itu menyebabkan kaum padri dan kaum adat bersatu menyerbu Belanda. Mereka dipimpin Tuanku Nan Cerdik dan Tuanku Imam Bonjol. Dalam pertempuran tahun 1833 di benteng Tanjong Alam, Tuanku Nan Cerdik terpaksa menyerah pada Belanda. Pertempuran akhirnya dipimpin sendiri oleh Tuanku Imam Bonjol. Dalam pertempuran pada tanggal 25 Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol ditangkap dan diasingkan ke Cianjur, kemudian dipindahkan ke Minahasa sampai wafat dalam tawanan. Jenazahnya dimakamkan di Pineleng, dekat Manado.

Related Posts

This Post Has One Comment

Comments are closed.