Puncak Krisis sesudah Pemilihan Umum 1955



Hasil dari pemilihan umum (29 September 1955 untuk Parlemen dan 15 Desember 1955 untuk konstituante) memperlihatkan gambaran luasnya pengaruh masing-masing partai. Yang menonjol adalah munculnya NU dan PKI sebagai partai-partai besar di samping PNI dan Masyumi.

Setelah pemilihan umum, dibentuklah Kabinet Ali Sastroamidjojo II pada tanggal 24 Maret 1956 berdasarkan perimbangan partai-partai dalam parlemen. Kabinet ini juga tidak lama bertahan karena adanya oposisi dari daerah-daerah di luar Jawa dengan alasan bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan daerah.

Oposisi yang didukung oleh para panglima daerah kemudian dilanjutkan dengan gerakan-gerakan separatis. Dengan dalih pembangunan daerah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah mengadakan perdagangan barter. Gerakan-gerakan dari daerah-daerah ini mendapat simpati dan Partai Masyumi, PSI dan partai-partai lainnya.

Pada bulan Februari 1957, Presiden Soekarno memanggil semua pejabat sipil dan militer serta semua pimpinan partai politik ke Istana Merdeka. Dalam pertemuan ini untuk pertama kalinya Presiden Soekarno mengajukan konsepsinya yang berisi antara lain sebagai berikut.

–          Dibentuk Kabinet Gotong Royong yang terdiri dari wakil-wakil semua partai ditambah dengan golongan fungsional.

–          Dibentuk Dewan Nasional (kemudian bernama Dewan Pertimbangan Agung) Anggota-Anggotanya adalah wakil-wakil partai dan golongan fungsional dalam masyarakat. Fungsi dewan ini adalah memberi nasihat kepada kabinet, baik diminta maupun tidak.

Konsepsi ini ditolak oleh beberapa partai, yakni Masyumi, NU, PSII, Katholik dan PRI. Mereka berpendapat bahwa mengubah susunan ketatanegaraan secara radikal harus diserahkan kepada Konstituante. Suhu politik pun semakin bertambah panas.

Pemilu 1955

Dalam peringatan Sumpah Pemuda 1957 Presiden Soekarno menyatakan bahwa segala kesulitan yang dihadapi negara pada waktu itu disebabkan adanya banyak partai politik, sehingga persatuan negara  rusak. Oleh karena itu ada  baiknya partai-Partai dibubarkan. Dengan alasan menyelamatkan negara, Presiden Soekarno mengajukan suatu konsepsi, yaitu Demokrasi Terpimpin. Konsepsi ini mendapat tantangan yang hebat. Sebagai reaksi terhadap konsepsi itu, gerakan-gerakan separatis muncul. Gerakan-gerakan itu, seperti Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatera Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara. Akhirnya, Presiden mengumumkan Keadaan Darurat Perang bagi seluruh wilayah Indonesia. Gerakan-gerakan yang muncul di daerah-daerah mencapai puncaknya dengan munculnya pemberontakan PRRI dan Permesta.

Pada tanggal 22 April 1959 di hadapan Konstituante Presiden Soekarno menyampaikan pidato yang menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945. Anjuran Presiden ini diberikan setelah Konstituante tidak berhasil merumuskan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Mengenai anjuran Presiden itu, konstituante tidak dapat berbuat apa-apa. Hal ini memperkuat kesan partai-partai politik sebagai keseluruhan tidak mampu menembus jalan buntu dengan cara-cara parlementer.

Related Posts