
Kita tahu bahwa dalam musik terkandung nilai-nilai yang bisa mempengaruhi kehidupan seseorang bahkan dengan musik bisa memberikan rasa haru, sedih, dan gembira. itulah musik yang kadang bisa menghipnotis siapa saja.
Namun disini kita akan menjelaskan mengenai sejarah dan nilai yang terkandung dalam musik semoga lebih bermanfaat bagi kita semua.
1. Zaman Prasejarah (Abad 1 SM)
Zaman prasejarah berlangsung antara tahun 2500 SM dan abad ke-1 M menentukan perkembangan kebudayaan musik sampai saat ini.
Pada zaman Mesolitikum (5000 SM) di Asia Tenggara terdapat tiga ras besar, yaitu Australide (penduduk asli), Melanesia (berasal dari Asia Tengah), dan Negrito (mungkin dari India).
Lapisan bawah ini ditumpangi oleh lapisan baru dengan dua arus imigrasi besar:
a. Imigrasi Pra-Melayu (2500 — 1500 SM)
Imigrasi Pra-Melayu adalah perpindahan bangsa dari Asia Tengah ke Asia Tenggara. Dalam perjalanannnya mereka mengutip juga unsur dari Kaukasus dan Mongolia. Mereka membawa seerta kebudayaan bambu serta teknik pengolahan ladang. Di Annam (Cina Selatan) dikembangkan semacam lagu pantun dimana putra-putri bernyanyi bersahut-sahutan.
Mereka memakai sebuah alat tiup bernama khen, yang terdiri atas 6 batang bambu yang ditiup bersama dalam kelompok dua atau tiga nada. Alat ini dikenal pula di Cina dengan name sheng dan di Kalimantan dengan eja kedi. Alat ini merupakan salah satu dari sejumlah besar alat musik bambu yang sampai sekarang terdapat di Asia Tenggara.
Sejumlah batang bambu ditanam di tanah. Tiupan angin menimbulkan bunyi bagaikan kledi raksasa yang cukup indah (terdapat di Bali sampai sekarang). Alat bambu lainnya mengalami perubahan dan proses perkembangan pada saat kemudian. Seperti Xylofon yang berkembang menjadi taung (Annam), rangnat (Kamboja), granat (Thailand), pattalar (Birma), gambang (Jawa), Kolintang (Sulawesi dan Kalimantan). Xylofon diekspor dari Asia Tenggara ke Afrika abad ke-5 M.
b. Imigrasi Proto-Melayu pada zaman Perunggu (abad ke-4 SM)
Zaman perunggu terjadi imigrasi besar-besaran ke Indonesia melalui rute Kamboja, Laos, Thailand, Malaysia terus ke Filipina, Melanesia, dan Polinesia (teori R.Von Heine-Geldern). Diperkirakan bahwa gong-gong pertama berasal dari Asia Selatan karena didekat sebuah desa bernama Dong-son didaerah Annam pada tahun 1930-an banyak ditemukan alat dari perunggu. Dari sinilah kebudayaan perunggu menyebar ke nusantara. Zaman ini dikenal juga dengan zaman kebudayaan Dong-son. Kebudayaan ini berlangsung dari abad ke-7 – 1 SM dan mencapai puncaknya pada abad ke-3 – 2 SM. Diperkirakan bahwa ukuran gong mereka besar maka musiknya juga berat.
Menurut beberapa ahli musik seperti Jaap Kunst, Alec Robetson dan Denis Stevens tangga nada pelog dibawa ke Indonesia oleh kelompok Proto-Melayu. Gong-gong yang dibawa oleh mereka ditemukan dalam penggalian di Jawa. Gong pada awalnya dipakai untuk perangkat upacara mendatangkan hujan secara magis.
c. Zaman Hindu-Buddha (abad ke-4 – 12 M)
Agama Buddha masuk ke Indonesia pada abad ke-4 M setelah revolusi terjadi pada abad ke- 1 SM di mana pada waktu itu banyak dibuat kapal-kapal besar di Teluk Persia dan Laut Cina sehingga lalu lintas ke lndonesia sangat ramai. Pengaruh kebudayaan Buddha yang dibawa dari India mencapai puncaknya pada abad ke-8 – 11 M di mana terjadi suatu fase kreativitas yang sangat tinggi. Pada masa itu berkembang kebudayaan Jawa berupa musik dan tari, arsitektur dan seni rupa. Pada waktu itu dibangun pula Candi Borobudur oleh Dinasti Syailendra dan Candi Prambanan.
Pada seni musik, selain tangga nada pelog, juga dipakai tangga nada slendro yang diperkenalkan oleh Dinasti Syailendra pada abad ke-8 M. menurut cerita tangga nada ini ditemukan oleh Batara Indra atas petunjuk Dewa Shiva. Menurut teori, satu oktaf dibagi dalam 5 interval yang sama (6/5 dari sekon besar).
Akan tetapi, ternyata tidak selalu demikian. Dalam penggalian di Jawa ditemukan pula alat-aIat kuno dengan tangga nada pentatonis (dengan interval sekon-sekon dan terts kecil), sama dengan tangga nada Cina dan musik India.
Perkembangan musik pada zaman itu dipengaruhi oleh drama Hindu dalam bahasa Sansekerta Ramayana. Drama ini diterjemahkan dan diolah bebas dalam banyak bahasa di Asia Tenggara. Pementasan dari fragmen-fragmen drama ini sangat disukai. Sesudah abad ke-9 M terdapat terjemahan dalam bahasa Jawa dan sejak abad ke-11 M dipentaskan di Jawa. Selain pementasan tari, berkembang pula versi wayangnya, suatu tradisi yang berasal dari zaman pra-Hindu.
Dalam relief Candi Borobudur terdapat alat musik Iokal dan impor, termasuk di antaranya gendang dari tanah dengan kulit hanya di satu sisi, kledi, suling, angklung, alat tiup (semacam hobo), xyIofon (bentuknya setengah gambang, setengah calung), sapeq, siter dan harpa dengan 10 dawai, lonceng dari perunggu dalam macam-macam ukuran, gong, saron, dan bonang. Maka jelaslah pada mulanya alat-alat musik terebut dimainkan menurut kebiasaan India.
Selain itu, dari penggalian-penggaIian di Jawa Tengah ditemukan pula sejumIah besar kumpulan bonang, nada-nada gender, saron, lonceng, gendang, gong-gong, namun tidak jelas dari abad ke berapa. Tampak sekali alat musik tersebut dimainkan sebelum zaman Hindu.
Perlu diketahui bahwa musik gamelan merupakan musik heterofon dengan pola ritme yang kaya. Keindahannya terletak justru dalam bunyi bersama dari lagu dan irama yang saling melengkapi menjadi satu simfoni nada dan irama. Adapun musik India termasuk musik solistis (vokal dan instrumen), meskipun dapat dimainkan dalam ensambel sebagai iringan. Namun demikian, alat- alat musik di India tidak digabungkan dalam satu orkes, hal ini diIakukan untuk memberi kebebasan pada para penyanyi dan pemusik.
Dari relief-relief yang terdapat di berbagai candi dan naskah-naskah kuno di nusantara dapat disimpulkan bahwa seni musik sejak zaman dulu telah mendapatkan penghargaan yang tinggi. Jadi, gamelan sebagai orkes mengalami perkembangan yang pesat, di mana alat-alat musik India diintegrasikan ke dalam musik tradisional Jawa dengan mengggunakan berbagai gong dalam beragam bentuk dan ukuran, ditambah gambang, dan sejumlah alat Iainnya yang kini ditinggalkan seiring perkembangan zaman.
d. Zaman Pasca Hindu
Pada abad ke-11 M, seiring pergeseran politik, di mana Jawa Timur menjadi pusat kebudayaan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan besar, yang diawaIi oleh masa kepemimpinan Raja Airlangga (1037), Kerajaan Singosari (abad ke-13), Majapahit (pada masa Raja Hayam Wuruk pada tahun 1331) berhasil menaklukkan seluruh kerajaan di nusantara maka perkembangan alat musik gong pun melaju dengan pesat. Alat musik ini ditemukan di seluruh bekas wilayah kerajaan-kerajaan tersebut.
Pada akhir zaman Hindu, gameIan sudah lengkap seperti yang ada pada zaman sekarang. Hanya ada satu alat musik yang belum ada pada waktu itu, yaitu rebab. Ensambel alat yang keras di Jawa terdapat pula di Nias dan Flores Barat.
Pada masa berdirinya Kerajaan Demak yang bernapaskan Islam pada tahun 1500 — 1546 alat musik dari Arab seperti rebana, rebab, dan gambus masuk ke nusantara. Akan tetapi, alat musik ini mengalami perubahan dalam bentuk dan cara memainkannya. Misalnya: rebab di Jawa, Bali, Sulawesi Selatan, Sumba dengan dua dawai; di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Utara, dan Maluku dengan satu dawai; di Aceh dengan tiga dawai. Nama rebana pun berbeda-beda, seperti terbang, trebang, robana, dan rabana. Adapun gambus (sejenis gitar/mandolin) biasanya diIengkapi dengan alat musik lain,seperti biola, akordeon, gendang, seruling, dan bas yang pada akhirnya menjadi orkes gambus.
Dengan kata lain, seluruh alat musik yang masuk ke Indonesia telah mengalami proses pengintegrasian ke dalam tradisi musik lndonesia.
Nilai-nilai dan Analisis Musik
Musik bisa mengubah pribadi kita. Musik memiliki pengaruh menjiwai kita. Musik dapat memberikan keharuan, meningkatkan kepribadian, dan melimpahi kita dengan tenaga yang murni.
Analisis musik adalah proses mengolah musik yang telah diformulasikan melaIui gambaran bentuk agar mencapai ide dasar musik.