
Sejalan dengan penyebaran agama Islam yang mengikuti alur perdagangan di sepanjang pesisir pantai, maka kerajaan-kerajaan Islam pun berawal dari kotakota pelabuhan di Indonesia.
1. Kerajaan Samudera Pasai
Kesultanan Islam berikutnya yang muncul di Indonesia adalah Kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan ini berkembang dengan pesat dan memiliki dua bandar perdagangan yang ramai, yaitu Samudera dan Pasai.
Pada awalnya, kesultanan Samudera Pasai merupakan penggabungan dua kerajaan kecil, yaitu kesultanan Samudera dan kesultanan Pasai. Seperti halnya Perlak, kota bandar Samudera dan Pasai terletak di pintu masuk Selat Malaka, yaitu jalur perdagangan utama antara Arab, Persia, India, dan Cina. Oleh karena itu, sangat mungkin kedua kota bandar itu telah mendapat pengaruh Islam pada abad VIII.
Keberadaan Kerajaan Samudera Pasai dapat terlacak berdasarkan beberapa sumber sejarah dan bukti-bukti. Seorang pengembara asal Arab yang bernama Ibnu Batutah menceritakan bahwa kerajaan ini diperintah oleh seorang sultan bernama Malik at-Thahir.
2. Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh Darussalam didirikan oleh Muzaffar Syah pada awal abad ke-15. Pada awal berdirinya, Kerajaan Aceh Darussalam hanya merupakan sebuah kerajaan kecil. Namun setelah Muzaffar Syah wafat dan digantikan oleh putranya Ali Mughayat Syah, kerajaan ini berkembang pesat. Ali Mughayat Syah berhasil mempersatukan seluruh wilayah Aceh, sehingga kerajaan berkembang lebih cepat.
Di samping Samudera Pasai, di ujung Utara Pulau Sumatera terdapat kerajaan Islam yang lain, yaitu kerajaan Aceh. Pusat kekuasaannya di Ramni dan kemudian dipindah ke Darul Kamal. Kerajaan Aceh didirikan pada tahun 1204 di bawah pemerintahan Sultan Jihan Syah. Pada waktu itu Aceh belum berdaulat karena merupakan kecil yang berada di bawah pengaruh Pedir. Akhirnya, Aceh berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Pedir dan menjadi kerajaan yang berdaulat penuh. Pada waktu itu, Aceh diperintah oleh Sultan Muhayat Syah (1514-1528). Pusat kerajaan dipindah ke Kutaraja.
3. Kerajaan Gowa–Tallo
Gowa dan Tallo adalah dua kerajaan yang berdiri di daerah Sulawesi Selatan. Tahun 1605, raja Gowa yang bernama Daeng Manrabia dan raja Tallo yang bernama Karaeng Matoaya memeluk agama Islam. Kemudian keduanya menyatukan wilayah kedua kerajaan mereka dengan Daeng Manrabia sebagai rajanya. Sementara, Karaeng Matoaya menjabat sebagai
perdana menteri. Daeng Manrabia mengganti namanya menjadi Sultan Alauddin dan Karaeng Matoaya mengganti namanya menjadi Sultan Abdullah.
4. Kerajaan Ternate dan Tidore
Kerajaan Ternate dan Tidore telah ada sejak masuknya pengaruh Islam. Namun peran kedua kerajaan tersebut mulai menguat sejak keduanya menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan. Semula, kedua kerajaan tersebut saling bersaing dalam kegiatan perdagangan di kawasan Maluku.
5. Kerajaan Demak
Sekitar tahun 1500, kekuasaan Majapahit sudah sangat lemah sekali. Kemudian dengan dukungan Walisanga, Raden Patah mengambil alih tahta Majapahit dan memindahkan ibu kota
kerajaan ke Demak. Sejak saat itu, maka kerajaan Demak resmi berdiri dan Raden Patah dinobatkan menjadi Raja yang pertama dengan gelar Sultan Alam Akbar al-Fatah. Pemerintahan Kerajaan Demak sangat didukung oleh Walisanga yang sebelumnya sangat mendambakan kepemimpinan Islam di tanah Jawa.
Demak merupakan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1500. Sebenarnya, Raden Patah masih keturunan langsung dari Brawijaya, raja Majapahit. Sebagai sultan pertama Demak, Raden Patah bergelar Sultan Alam Akbar Al-Fatah. Berdirinya kerajaan Demak mendapat dukungan dari ulama dan pembesar di pantai Utara Jawa, seperti Tuban, Gresik, Jepara, Kudus, dan lain-lainnya.
6. Kerajaan Pajang
Seperti telah diceritakan sebelumnya, Kerajaan Pajang didirikan oleh Jaka Tingkir dengan mengalahkan Arya Penangsang. Sebagai raja, Jaka Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya. Masa pemerintahan Hadiwijaya dihabiskan untuk memadamkan pemberontakan-pemberontakan yang kerap dilakukan oleh beberapa bupati yang sebelumnya merupakan pendukung Arya Penangsang.
7. Kerajaan Mataram
Naiknya Sutawijaya yang bukan golongan bangsawan sebagai raja mendapat tentangan dari sebagian besar kalangan bangsawan, terutama para bupati. Selain itu, Sutawijaya berkeinginan untuk mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram. Akibatnya, pada masa pemerintahannya, Sutawijaya lebih sering berada di medan perang daripada di istana. Berkali-kali ia harus bertempur untuk menundukkan bupati Kediri, Madiun, Kedu, Bagelen, Pasuruan, dan Surabaya yang tidak mau tunduk pada kekuasaannya.
8. Kerajaan Cirebon dan Banten
Pada awal masa perkembangan Islam di Pulau Jawa, Cirebon dan Banten merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa. Kehadiran Syarif Hidayatullah yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati di Cirebon perlahan mengubah agama dan kebudayaan masyarakat yang tinggal di sana. Hingga akhirnya, pada masa Kerajaan Demak, Sunan Gunung Jati memisahkan Cirebon dari Kerajaan Pajajaran dan menyatakan Cirebon sebagai wilayah bagian dari kekuasaan Demak.
Cirebon bersal dari kata caruban yang berarti campuran. Masyarakat Cirebon diperkirakan merupakan campuran dari para pedagang setempat dengan para pedagang Cina yang telah memeluk Islam. Menurut buku Sejarah Banten, satu rombongan keluarga Cina telah mendarat dan menetap di Gresik. Kemudian mereka memeluk agama Islam. Satu di antara mereka bernama Cu-cu dan lebih dikenal dengan sebutan Arya Sumangsang atau Prabu Anom. Keluarga Cucu dapat mencapai kedudukan dan kehormatan tinggal di Kesultanan Demak dan mendapat kepercayaan untuk mendirikan perkampungan di daerah Barat. Atas ketekunannya, mereka berhasil membangun perkampungan yang disebut Cirebon.
Dasar-dasar pembentukkan Kesultanan Banten telah dirintis oleh Nurullah pada tahun 1525 atas persetujuan Sultan Demak. Nurullah adalah seorang muslim yang saleh dan cakap dalam bidang politik sehingga diharpkan dapat membendung pengaruh Portugis. Pada tahun 1522, Portugis telah menandatangi persetujuan dengan Pakuan Pajajaran untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa. Namun sebelum maksud Portugis dilaksanakan, Nurullah telah merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran pada tahun 1527. Atas kemenangannya itu, Nurullah diberi gelar Fatahillah (Kemenangan Allah) oleh Sultan Trenggon. Di samping itu, nama Sunda Kelapa diganti dengan Jayakarta.