Klasifikasi Lahan Dalam Pertanian Untuk Mengukur Potensi Lahan



Klasifikasi tanah menurut kualitasnya untuk tujuan tertentu ­dikenal sebagai klasifikasi tanah. Konsep klasifikasi tanah sering digunakan untuk pertanian secara keseluruhan, tetapi penilaian terkadang dilakukan untuk satu perusahaan.

Hasilnya biasanya direpresentasikan secara ­kartografis dan dapat menjadi dasar untuk keputusan perencanaan tentang permohonan konversi penggunaan lahan pertanian ke penggunaan lain.

Secara umum, klasifikasi penggunaan lahan memiliki dua komponen, yaitu:

  1. Penilaian kualitas fisik dan potensi lahan pertanian. Ini juga dikenal sebagai ‘kemampuan lahan’. Sifat fisik tanah hampir tidak dapat diubah. Padahal, ­sifat dan kualitas tanah dan tanahnya tergantung pada bahan induk, suhu, curah hujan, daya menahan air, tekstur tanah, struktur tanah dan kandungan humus. Properti tanah ini tidak berubah selama periode waktu yang lebih singkat.
  2. Penilaian kualitas tanah di bawah seperangkat ­keadaan sosial ekonomi yang berlaku termasuk struktur pertanian, ketersediaan irigasi, biaya tenaga kerja relatif, input modal, tingkat teknologi dan stabilitas harga. Kontrol ekonomi dan sosial pada produksi lebih bervariasi. Sejumlah sistem klasifikasi penggunaan lahan sedang populer di berbagai negara di dunia. Klasifikasi lahan sistematis pertama dilakukan oleh LD Stamp.

Dalam klasifikasi tanah Inggrisnya, Stamp mengadopsi sistem tujuh kali lipat, yaitu

(i) subur,

(ii) Keras dan kasar,

(iii) padang rumput,

(iv) Kebun dan pembibitan,

(v) Padang rumput,

(vi) Hutan dan kawasan hutan, dan

(vii) Daerah perkotaan.

Detail dan pembenaran klasifikasi ini dalam karya monumental Stamp, The Land of Britain: Its Use and Misuse. Klasifikasi ini membantu mengatasi banyak masalah yang berkaitan dengan permintaan tanah setelah Perang Dunia Kedua.

Selanjutnya, Coleman, seorang mahasiswa Stamp, mengadopsi klasifikasi 13 kelas utama dengan berbagai sub ­divisi, membuat total 70 tipe penggunaan lahan. International Geographical Union (IGU) memutuskan untuk menghasilkan sistem klasifikasi terpadu untuk seluruh dunia tetapi tanpa adanya data yang memadai dan dapat diandalkan, terutama tentang negara-negara berkembang, hal itu tidak mungkin terjadi.

Di Amerika Serikat, Sauer (1924) memelopori survei penggunaan lahan. Selanjutnya, Jones, Finch (1925) menekankan ­pentingnya klasifikasi penggunaan lahan untuk perencanaan dan pembangunan. Pada tahun 1925, Whittlesey mempertimbangkan beberapa indikator sosial ekonomi untuk penggambaran tipologi pertanian dunia.

Melihat sifat tugas survei penggunaan lahan dan klasifikasi penggunaan lahan yang sulit dan tidak praktis, para ahli geografi Amerika ­memberi penekanan pada teknik pengambilan sampel. Teknik pengambilan sampel dianggap lebih unggul dari survei lapangan karena menghemat waktu, tenaga dan uang.

Di India, M. Syafi adalah pelopor studi penggunaan lahan. Dia menerbitkan Land Use Survey di Easter Uttar Pradesh pada tahun 1962. Di bawah ­pengawasannya lebih dari dua lusin mahasiswa menyelesaikan tesis doktor mereka di bidang studi penggunaan lahan pertanian. Ketersediaan citra satelit telah merevolusi seluruh teknik klasifikasi penggunaan lahan. Kelemahan utama survei penggunaan lahan tradisional adalah hanya memberikan gambaran statis tentang penggunaan lahan yang ada dan sangat memakan waktu, tenaga dan uang.

Survei Kesesuaian Lahan:

Klasifikasi lahan, berdasarkan kemampuan lahan, telah ­dianggap sebagai dokumen yang lebih penting untuk perencanaan dan pengembangan pertanian. Klasifikasi kemampuan lahan adalah penilaian ilmiah tentang karakteristik fisik lahan, kualitas tanah yang melekat, dan praktik manajemen pertanian. Peta kemampuan lahan lebih berguna untuk delineasi lahan subur bermasalah dan potensial.

Di beberapa negara maju tanah telah diklasifikasikan berdasarkan ­kemampuan tanah, kesesuaian, produktivitas pertanian dan irigasi tanah. Stamp pada tahun 1960 memperkenalkan konsep unit produksi potensial (PPU) sebagai satuan standar untuk klasifikasi tanah. PPU dapat didefinisikan sebagai produksi potensial dari satu hektar lahan pertanian rata-rata yang baik di bawah praktik pengelolaan pertanian yang baik.

Skala kasar PPU dikembangkan sebagai berikut:

Satu hektar kelas I = 2,00 PPU

Satu hektar kelas II = 1,00 PPU

Satu hektar kelas III = 0,50 PPU

Dengan menerapkan teknik PPU untuk klasifikasi lahan seseorang dapat menilai hilangnya lahan budidaya jika dikhususkan untuk penggunaan lain (industri, perumahan, dll.). Misalnya, jika 100 hektar tanah kelas II (kualitas sedang) digunakan untuk pembangunan pabrik, maka akan terjadi kerugian sebesar 100 PPU, sedangkan jika tanah kelas I (kualitas baik) digunakan untuk pendirian pabrik tersebut. kerugian akan setara dengan 200 PPU, dan dengan membangun pabrik dalam kategori kelas III (kualitas buruk), kerugian hanya sebesar 50 PPU.

Oleh karena itu, akan lebih bijaksana dan rasional untuk membangun pabrik di atas tanah dengan kualitas buruk di mana kehilangan unit produksi potensial adalah minimum. Dengan demikian, unit produksi potensial merupakan teknik yang baik untuk delineasi wilayah kemampuan lahan.

Related Posts