Perkembangan Sastra dan Budaya Kerajaan Majapahit



Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, bidang  sastra mengalami  kemajuan.  Karya sastra yang paling terkenal pada zaman  Majapahit  adalah  Kitab Negarakertagama. Kitab ini ditulis oleh Empu Prapanca  pada  tahun  1365  M.

Di samping menunjukkan kemajuan  di bidang  sastra,  Negarakertagama juga  merupakan sumber  sejarah  Majapahit. Kitab lain yang penting   adalah   Sutasoma.   Kitab  ini  disusun   oleh   Empu Tantular.

Kitab Sutasoma  memuat kata-kata yang  sekarang menjadi semboyan  negara  Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Di samping  itu, Empu Tantular juga menulis kitab Arjunawiwaha.

Bidang seni bangunan juga berkembang.   Banyak   bangunan candi telah dibuat. Misalnya Candi Penataran dan Sawentar di daerah Blitar, Candi Tigawangi dan Surawana di dekat  Pare, Kediri, serta Candi Tikus di Trowulan.

Keruntuhan  Majapahit  lebih disebabkan oleh ketidakpuasan sebagian besar keluarga  raja, setelah  turunnya  Hayam Wuruk.  Perang  Paregrek  telah  melemahkan unsur-unsur kejayaan  Majapahit.  Meskipun  peperangan berakhir, Majapahit  terus  mengalami  kelemahan karena  raja yang berkuasa tidak  mampu   lagi mengembalikan kejayaannya.  Unsur  lain yang menyebabkan runtuhnya Majapahit adalah semakin meluasnya pengaruh Islam pada saat itu.

Kemajuan peradaban Majapahit itu tidak hilang dengan runtuhnya kerajaan itu. Pencapaian itu terus dipertahankan hingga masa perkembangan Islam di Jawa. Peninggalan  peradaban Majapahit juga dapat kita saksikan pada perkembangan lingkup  kebudayaan  Bali pada   saat   ini. kitab arjuna wiwahaKebudayaan yang masih dikembangkan hingga  masa  Islam adalah  cerita  wayang yang berasal dari epos India yaitu Mahabharata dan  Ramayana,  serta  kisah asmara  Raden Panji dengan Sekar Taji (Galuh Candrakirana).  Selain itu dapat  kita saksikan   juga   pada   unsur   arsitekturnya bentuk  atap  tumpang, seni ukir sulur-suluran dan tanaman melata, senjata keris, lokasi keramat,  dan masih banyak lagi.

candi majapahit
Kakawin Arjuna Wijaya menguraikan peperangan antara Prabhu Arjuna Sahasrabhahu dan pendeta Parasu Rama, berdasarkan Uttara Kanda, bagian terakhir Ramayana (Sansekerta). Cerita ini sangat populer terbukti dari adanya pelbagai naskah dalam bahasa Bali dan Jawa Kuna. Versinya dalam bahasa Jawa Baru dalam bentuk tembang diusahakan oleh Raden Ngabehi Sindusastra dari Surakarta, diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1930.  Cerita ini dikenal dengan Lampahan Arjuna Sasrabahu, banyak dipertunjukkan dalam seni panggung wayang, baik wayang kulit maupun wayang orang. Naskah ini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dibahas dan diterbitkan sebagai bahan thesis pada Universitas Nasional di Canberra, Australia oleh Dr. Supomo pada tahun 1971.

Karya Mpu Tantular yang kedua adalah Sutasoma, Purusada Santa, sebuah cerita moralistik dan didaktik Budha tentang pahlawan Sutasoma yang menyerahkan hidupnya dengan sukarela sebagai mangsa kepada raksasa Kalmasa Pada. Raksasa Kalmasa Pada kagun akan kerelaan itu, dan tidak jadi memakannya, bahkan malah bertobat dan memeluk agama Budha. Sutasoma adalah Bodhisattwa. Naskah Sutasoma Purusada Santa ini banyak menarik perhatian para sarjana, diantaranya Prof. J. Ensink, dalam tahun enampuluhan ia datang ke Indonesia untuk mengadakan penelitian tentang Sutasoma di pulau Bali, hasilnya adalah sebuah tulisan yang berjudul On the Old Javanese Cantakaparwa and its tale of Sutasoma, VKI, 54, 1967. Teks Sutasoma ini juga dijadikan bahan thesis pada Universitas Nasional di Canberra, Australia, oleh Dr. Suwito Santosa pada tahun 1969.

sutasoma

Wretta Sancaya atau disebut juga Cakrawala Duta pada hakekatnya adalah karya pengetahuan tentang matra kakawin India, yang banyak dipinjam dalam kesusasteraan Jawa Kuna, tetapi diberi bentuk cerita romantis tentang seorang gadis yang ditinggalkan oleh kekasihnya. Gadis itu memeinta bantuan kepada burung cakrawala atau meliwis untuk mencarikan kekasihnya tersebut. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan diterbitkan oleh Prof. H. Kern dengan judul Wretta-sancaya, Oud Javaansch leerdicht over versbouw, Leiden, 1875.

Sriwaratrikalpa atau Lubdaka bercerita tentang seorang pemburu yang pada suatu malam menaburkan daun maja (wilwa) di atas lingga Dewa Siwa, yang ada di bawah pohon maja. Sebagai tanda terima kasih, Dewa Siwa mengijinkan pemburu itu masuk ke dalam taman surga. Cerita Lubdhaka adalah saduran dari mithologi India yang bertalian dengan upacara keagamaan Shiwaratri. Mungkin pada jaman Majapahit Shiwaratri itu juga dirayakan.

Naskah ini telah diterbitkan oleh Prof. A. Teeuw di bawah judul Sriwaratrikalpa dalam seri Bibliotheca Indonesica no. 3 tahun 1969. Karya lainnya dari Mpu Tanakung adalah Pati Brata atau Uddalaka, karya ini belum pernah diterbitkan.

Sumber: Sejarah SMA/MA Kelas X Kemdikbud 2014

Related Posts